TEMPO.CO, Jakarta - Karier I Gusti Ngurah Akhsara Danadiputra di PT Garuda Indonesia Persero Tbk berakhir setelah Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir mencopotnya dari jabatan Direktur Utama perusahaan pelat merah itu. Ari diketahui menyelundupkan motor Harley Davidson seri klasik keluaran 1972.
Benda ini terciduk Bea dan Cukai Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada 17 November lalu lantaran tak berizin alias bodong. Barang gelap ini sebelumnya diangkut dengan maskapai penerbangan GA 9721 A300-900 Neo yang terbang perdana dari Prancis menuju Jakarta.
Polemik yang menimpa entitas berkode emiten GIAA ini bukan yang pertama kali terjadi. Perkara-perkara lainnya sudah mendera perusahaan itu setidaknya dalam setengah tahun terakhir.
Sejak Ari diangkat menjadi Direktur Utama Garuda Indonesia oleh Menteri BUMN terdahulu, Rini Soemarno, pada September 2018, entitas ini menanggung sejumlah masalah besar. Berikut serentetan masalah di Garuda Indonesia yang terjadi di bawah kepemimpinan Ari.
1.Harga Tiket Pesawat Melambung
Pada awal tahun ini, Garuda Indonesia Group menaikkan harga tiket pesawat untuk penerbangan semua rute domestik angkutan niaga berjadwal secara tiba-tiba. Tak tanggung-tanggung, tarif tiket pesawat untuk beberapa rute bahkan melonjak sampai 100 persen. Kenaikan harga itu diikuti oleh maskapai penerbangan lainnya, seperti Lion Air Group. Kebijakan kenaikan harga ini terjadi setelah maskapai pelat merah menjalin kerja sama manajemen dengan Sriwijaya Air pada November 2018.
Muncul dugaan ada duopoli antara Garuda Indonesia dan Lion Air Group. Sebab, setelah Garuda Indonesia menggandeng Sriwijaya, pasar penerbangan dalam negeri dikuasai hanya oleh dua maskapai: Garuda Indonesia dan Lion Air. Namun, Garuda Indonesia membantah terlibat duopoli. Manajemen belakangan menyatakan terseok lantaran harga pokok produksi yang ditanggung tak sesuai dengan pendapatan yang diterima.
2. Mengubah Laporan Keuangan
Manajemen Garuda Indonesia membedaki laporan keuangannya untuk tahun buku 2018 dan kuartal I 2019. Garuda mencatatkan untung dalam bentuk piutang senilai US$ 239,9 juta atau sekitar Rp 3,47 triliun dengan hitungan kurs Rp 14.481.
Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK mencatat sejumlah temuan dari laporan keuangan ini. Salah satunya financial engineering. Financial engineering, atau yang lazim dikenal sebagai rekayasa keuangan, berkaitan dengan pencatatan piutang Garuda Indonesia dalam laporannya kepada publik pada 24 April 2019. Kala itu, Garuda Indonesia disebut membukukan pendapatan yang masih berbentuk piutang ke dalam laporan pendapatan.
Piutang yang dimaksud dari perjanjian kerjasama antara PT Garuda Indonesia Tbk. dan PT Mahata Aero Teknologi serta PT Citilink Indonesia. Kerjasama itu terkait layanan konektivitas dalam penerbangan dan pengelolaan layanan hiburan di dalam pesawat.